Thursday, October 27, 2005

Belajar Ikhlas

Ramadhan sudah memasuki hari yang ke 24, yang berarti tinggal 5 hari lagi Ramadhan tahun ini akan berakhir. Idul Fitri berarti sudah di ambang pintu.

Berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, Ramadhan tahun ini banyak memberikan suasana yang lain. Tidak terasa waktu berjalan cepat... bahkan untuk menentukan Ramadhan ini sudah hari ke berapa, saya masih harus menghitung dulu.

Seorang staf di kantor selalu menghitung Ramadhan dengan kalimat "tinggal ... hari", tetapi saya selalu menghitungnya dengan "sudah ... hari". Dua kalimat yang bisa bertujuan sama, tetapi dengan makna yang sangat jauh berbeda menurut saya.

Saya bukanlah seorang yang taat ataupun religius. Tapi saya sedang berusaha dan belajar untuk taat walau seringnya kalah dengan malas yang menghadang. Entah mengapa mendekati akhir Ramadhan ini hati saya mendadak sedih... Bukan karena euforia untuk mencari penghiburan dan pembuktian bahwa puasa Ramadhan saya berhasil. Saya berpikir tidak ada yang perlu dibuktikan di sini, karena urusan ini adalah urusan saya dengan Pencipta saya.

Saya sedih, karena atmosfir Ramadhan akan segera berakhir. Atmosfir yang damai... walaupun saya jarang sholat tarawih. Bulan ini seperti memotivasi saya untuk kembali bertanya "Siapa diri saya?", "Apakah yang saya jalani selama ini sudah sesuai dengan tracknya?", dan masih banyak pertanyaan yang lain.

Kemarin saat berbuka dengan seorang teman, kami diasyikkan dengan suatu perbincangan mengenai pencarian identitas tersebut. Intinya ternyata untuk urusan apapun, saya jangan terlalu memaksakan diri. Terlebih untuk masalah keyakinan. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan nikmat. Biarlah semua berjalan sesuai alirannya, tetapi lakukanlah dengan kemampuan terbaik. Jangan langsung mempunyai ekspektasi yang tinggi, lakukanlah setahap demi setahap. Klise...

Tapi ternyata pelaksanaanya tidak semudah dibayangkan. Sampai sekarang jika dianalogkan sebagai sekolah, saya baru menginjak bangku SD. Hal tersulit adalah bagaimana menyusun "mind set" yang ada di kepala dan di hati. Setting tersebut adalah bagaimana mengatur pikiran dan hati menjadi orang yang ikhlas. IKHLAS kata kunci yang pernah dikatakan salah seorang "guru kehidupan" saya beberapa tahun lalu untuk dipegang selama hidup saya. Kalimat abstrak yang bila direalitaskan menjadi sangat sulit.

Sebuah novel filsafat yang banyak menginspirasi saya mengatakan bahwa " apa yang terjadi dalam kehidupan kita, memang sudah seharusnya terjadi" dan dalam kacamata agama ini disebut sebagai "TAKDIR". Dan bila kita bisa menerimanya dengan hati lapang tanpa penyesalan, ini bisa diartikan pula kita "IKHLAS". Tapi apa benar sebenarnya kita bisa menerima semua takdir kita dengan hati lapang?

Karenanya sampai sekarang saya masih berusaha untuk mempelajarinya. Salah satunya adalah dengan berusaha melihat segala sesuatu dari sisi sebaliknya. Melihat sebuah rezeki dan kebahagiaan itu sebagai ujian, dan melihat sebuah musibah dan cobaaan itu sebagai nikmat. Seandainya saya bisa melihatnya dan merasakan sebenarnya dengan baik, betapa bahagianya saya... Saya dapat merasakan rezeki dan kebahagiaan itu sebagai nikmat juga ujian, begitupun sebaliknya merasakan musibah dan cobaan sebagai ujian juga sekaligus nikmat, tinggal bagaimana saya mensetnya dalam pikiran dan hati saya.

Dan seandainya saya bisa menset semuanya dalam perspektif positif, maka energi yang menjalar di tubuh saya pun menjadi positif. Seperti yang pernah saya dengar dari seorang teman yang menjadi praktisi energi, "Energi positif akan membuat diri kita menjadi nyaman, begitupun yang akan dirasakan oleh orang-orang di sekeliling kita dengan kehadiran kita". Saya akan ringan melangkah, begitupun orang-orang di sekeliling saya akan terpengaruhi oleh energi tersebut. Alangkah indahnya...

Sunday, October 02, 2005

Pedih

Apakah kalian Tuhan?
Sehingga merasa berhak untuk mengambil hak hidup mereka
Dan merasa bahwa hanya jalan kalian yang paling benar
Padahal hak itu dan kebenaran itu hanya milik Yang Kuasa

Bom kalian,
Telah merenggut secara paksa yang tercinta dari yang mencintanya
Mereka yang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi
Dan tidak merasa suatu perbedaan adalah satu hal yang harus dipaksakan

Tidakkah kalian melihat mata mata itu
Air mata yang tumpah, karena kalian rampas kecintaan mereka
Hati yang pedih, yang entah kapan akan tersembuhkan
Kemarahan yang entah bagaimana dapat tersalurkan



Untuk apa itu semua…
Jika kemanusiaan dan kedamaian harus dikorbankan
Nilai-nilai luhur harus diinjak-injak
Dan kepercayaan harus ditukar dengan dendam

Apakah kalian merasa puas yang tiada berbatas
Atau… merasa menang dan digdaya
Kalau memang semua itu yang terasakan,
Biarkan segala kebencian menuntut kalian pada hari yang dijanjikan

(Bom Bali II/1 Oktober 2005)
Nandha Julistya