Friday, October 05, 2007

Saya ingin pulang

Pulang ?

Bagi sebagian orang mungkin kalimat ini begitu biasa. Seperti hari-hari menjelang Idul Fitri ini, jika mereka ditanya apa rencana mereka dalam menyambutnya, tidak sedikit yang akan menjawab "PULANG kampung".

"Pulang" apa sih istimewanya ?

Buat saya kata pulang adalah salah satu kata yang punya arti begitu dalam. Sebenarnya agak sulit buat saya menjelaskannya karena begitu abstrak. Karena "pulang" yang saya maksud bukan dalam artian fisik, tapi dalam artian rohani.

Buat saya pulang identik dengan saya kembali berada di "rumah" saya dalam kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan. "Rumah" saya sebenarnya. Berkumpul dengan "orangtua" dan "keluarga" saya sambil bercerita apa saja yang sudah saya lakukan dalam "Life Journey" saya.

Saya membayangkan nantinya akan seperti anak kecil yang berusaha mencari perhatian orangtua dan saudara lainnya dengan cerita-cerita tersebut. Yang dengan semangat menceritakan apa saja yang sudah saya lakukan, "berusaha menebarkan senyum dan damai pada saudara-saudara yang saya temui dalam perjalanan hidup saya". Sungguh, senyum-senyum mereka adalah kebahagiaan buat saya.

Saya ingin pulang...

Bukan pulang begitu saja... tapi dengan kepuasan. Dengan kebanggaan anak-anak yang bisa dengan tersenyum bercerita pada "orangtuanya" kalau ia tidak hanya sekedar lewat saja di jalan-jalan kehidupannya!

"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya" (Al Fajr : 27-28)

Monday, October 01, 2007

Pilihan-pilihan

Life is a choice... hidup adalah sebuah pilihan sepeti sebuah judul buku yang pernah saya lihat. Sejatinya sebuah pilihan akan ada sebuah tanggungjawab di dalamnya. Itupun akan diikuti cabang-cabang pilihan selanjutnya dan tidak akan pernah berhenti sampai kita akhirnya "pergi".

Semua orang dinilai atas apa yang sudah dilakukannya dan tentu apapun yang dilakukan itu adalah pilihan. Walaupun saya selalu berusaha tidak peduli dengan apapun penilaian orang, tapi setidaknya kadang-kadang itu mengusik saya juga. Dan kadang saya tidak nyaman dengan apa yang akhirnya terjadi.

Pilhan bukan hanya berdasar masalah benar-salah, tapi juga pilihan benar-benar. Dan itu selalu membingungkan... Kapan saya harus memilih yang ini, kapan harus memilih yang itu... yang pasti apapun pilihannya, saya harus siap dengan konsekuensinya. Dan kembali ke masalah memilih, saya merasakan sampai sekarang saya belum cukup dewasa untuk menjadi pemilih yang baik.

Akhirnya semua kembali ke nature saya lagi. Di saat saya sedang berusaha belajar "mendengarkan" hati saya, "pikiran" saya kembali mendominasinya.

Sepertinya saya egois? Atau juga belum cukup dewasa dan bijaksana dalam memilih? Semua itu bisa benar, dan entah sampai kapan saya akan terus seperti itu. Dan mungkin ini yang akhirnya membentuk sikap saya yang tidak terlalu memasalahkan pilihan-pilihan yang dibuat oleh teman-teman saya. Sikap yang memposisikan diri saya sebagai "hakim" yang mengatakan ini salah ataupun ini benar. Saya sadar bahwa sayapun seperti mereka yang berusaha membuat pilihan terbaik dalam hidupnya. Saya tidak tahu apakah sikap saya itu benar atau salah. Tapi di situlah saya menemukan makna bahwa niat yang baik dan ikhlas menerima apapun hasilnya adalah sangat penting.

Semoga saya semakin diberikan kedewasaan dalam menentukan pilihan-pilihan saya. Amin...

Monday, December 18, 2006

Uang Sekolah senilai Argometer Taksi

Ternyata, belajar itu bisa dari siapapun... Kuncinya hanya apakah kita mau membuka hati kita untuk menerima pelajaran itu dari siapapun, terlepas dari status atau apapun namanya itu dari orang yang mengajari kita.

Akhir minggu lalu saat hujan turun dengan deras, saya memberhentikan sebuah taksi di dekat kantor saya. Taksi "butut" dari perusahaan taksi yang tidak termasuk dalam perusahaan taksi "top 5", dengan lampu besar depan yang buram sebelah. Pengemudinya sendiri adalah seorang Bapak paruh baya dengan tampang "preman".

Setelah mengucapkan salam, saya mengucapkan tujuan saya dan permintaan untuk mampir sebentar ke kantor saya dulu untuk membawa sebuah barang. Tidak ada sedikitpun ucapan yang keluar dari Bapak tersebut, selain langsung mengarahkan mobilnya memenuhi permintaan saya tersebut.

Selesai memasukkan barang2 tersebut, taksi tersebut melaju untuk mengantarkan saya ke tujuan berikutnya. Bermula dari satu pertanyaan kecil saya, akhirnya mengalir pembicaraan yang hangat di antara kami. Pembicaraan yang begitu menyentuh dan begitu "cerah". Terbaca di balik statusnya yang "hanya" seorang supir, mempunyai kepribadian yang begitu tinggi. Walau tampangnya "preman" tetapi hatinya sangat luhur. Seorang yang mempunyai prinsip untuk tidak mencampuri prinsip orang lain, dan hanya berusaha selalu memperbaiki dirinya demi ke Taqwa an pada Sang Khalik. Seorang yang tidak ngoyo tetapi tetap berusaha keras dan juga ikhlas.

Obrolan kami malam itu begitu ringan tetapi dalam. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dalam perbincangan tersebut. Beruntungnya saya malam itu, disupiri oleh seorang "guru kehidupan" yang telah banyak makan asam garam. Beruntungnya saya malam itu, belajar dengan "uang sekolah" senilai "argometer" taksi.

SurgaMu

Segala yang ada dalam hidupku
Kusadari semua MilikMu
Ku hanya hambaMu yang berlumur dosa

Tunjukkan aku Jalan LurusMu
Untuk menggapai SurgaMu
Terangiku dalam setiap langkah hidupku

Karena…
Kutahu…,
Hanya Kau Tuhanku

Allahu Akbar, Allah Maha Besar
Ku MemujaMu di setiap waktu
Hanyalah padaMu Tempatku berteduh
Kumohon Ridho dan AmpunanMu

By : Ungu

Thursday, November 09, 2006

Sombong

"Dha... kamu berbeda sekarang, jadi lebih sombong."

Sebuah komentar dari seorang teman yang begitu tajam menusuk hati. Hingga tiba-tiba bermunculan berbagai macam pertanyaan di hati. "Apa benar saya sekarang sombong... Kenapa sampai terlontar pernyataan itu?"

Malam itu juga selepas pertemuan dengannya, saya langsung menelepon teman tersebut. Saya minta maaf kalau saya sudah sombong kepadanya dan berterimakasih untuk kritiknya. Tp yg jadi masalah... "Apakah benar saya sombong?"

Dan setelah coba saya pikirkan, ternyata jawabannya YA. Keinginan untuk menolong, belajar merendahkan hati, menurut saya bisa jadi merupakan bibit-bibit kesombongan apabila itu diniatkan untuk "show off" atau mencari pengakuan. Merendahkan diri tp meninggikan mutu. Dan sedikit banyaknya niat itu sering terlintas di hati. Sebuah kekurangan dalam diri yg harus selalu dilawan.

Ternyata kesombongan itu tidak harus selalu bermuka pamer, merendahkan orang lain, dan bentuk sejenisnya yang sudah sering saya dengar di Sekolah, Ceramah, dll. Dia juga bisa bermuka tindakan yang baik, membantu orang lain, mengajak kepada kebaikan, dll. Sehingga akhirnya saya berpikir bahwa kesombongan itu muaranya adalah keinginan untuk mencari pengakuan dari orang lain tidak hanya sekedar membanggakan diri, tp juga merendahkan hati dengan niat untuk dipuji.

Dan mencari pengakuan dari orang lain, menurut saya adalah sebuah bentuk ketidakpercayaan diri. Pengakuan dalam konteks "personality". Mungkin inikah jawabannya mengapa orang yg hanya mencari pengakuan dari dirinya sendiri dan Sang Khalik terlihat lebih lebih tenang dan percaya diri? Jalannya lempeng-lempeng aja... Tidak peduli dengan omongan orang lain selama dia merasa niatnya dan tindakannya lurus?

Satu yg saya dapat tarik, ternyata langkah pertama untuk mengobati kesombongan saya adalah... saya harus menundukkan diri saya dahulu, menghancurkan tembok ego saya dgn niat selurus-lurusnya.

Terimakasih untuk teman-teman saya yg selalu mengingatkan saya. Semoga saya masih punya waktu untuk meminta maaf pada kalian sebelum pada akhirnya saya dipanggil oleh DIA yg memiliki saya.

Ya ALLAH saya mohon ampun atas kerendahan hamba...
Yang masih menempatkan ilusi-ilusi itu di tempat yg tinggi
Jauhkan hamba dari sifat sombong, karena hanya Engkau yg berhak atas itu...
Berikan hamba hati yg tulus... ikhlas, dan jiwa yang tenang

"Hai jiwa-jiwa yg tenang... kembalilah menghadap Tuhanmu dengan ikhlas"
Semoga...

Friday, December 02, 2005

Catatan Perjalanan dari Bali

Bali...

Apa yang bisa dikatakan tentang Bali? Banyak orang menyebutnya Pulau Dewata, suatu ungkapan yang menurut saya banyak benarnya hingga sekarang saat saya menulisnya.

Apa yang saya ingat tentang Bali adalah saya pertama kali mengunjunginya sekitar tahun 1984, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Kami berkunjung ke Bali dalam rangka tour sekaligus mengantarkan salah seorang kerabat yang pindah tugas ke sana. Hal yang masih menempel dalam ingatan saya adalah kami sempat mengunjungi Tanah Lot, Kintamani, Pura Besakih, Tampak Siring, Goa Lawa, Pantai Sanur, Pantai Kuta, sambil juga berputar-putar di Gianyar. Sebisa mungkin dalam 3 hari kami berada di sana, kami mengunjungi tempat-tempat yang sudah sering kami baca dan kami dengar.

Kesempatan kembali ke Pulau yang indah tersebut akhirnya terlaksana akhir tahun 2004 yang lalu. Jangka waktu 20 tahun tentulah sudah banyak perubahan di Bali. Menyusul Gobind dan Dessy yang telah lebih dulu berangkat beberapa hari sebelumnya, saya akhirnya menjejakkan kaki di sana 3 hari sebelum pergantian tahun. Sebuah perjalanan dadakan yang tidak pernah direncanakan jauh hari sebelumnya, karenanya saya agak sedikit kesulitan mendapat transportasi untuk pergi ke sana. Bali di akhir tahun sepertinya menjadi tujuan berlibur banyak orang sehingga tiket-tiket pesawat menjadi fully booked dan hotel-hotel pun penuh.

Karena keinginan yang kuat dan banyaknya teman-teman di Bali yang siap membantu jika saya datang akhirnya sayapun memantapkan diri untuk berangkat. Perjalanan saya tempuh dalam waktu hampir 24 jam, karena saya tidak bisa mendapatkan penerbangan langsung ke Bali. Perjalanan pertama saya dimulai dengan pesawat dari Cengkareng menuju Bandara Juanda Surabaya. Perjalanan kemudian disambung dengan kereta dari Stasiun Pasar Turi menuju Banyuwangi. Dari Banyuwangi saya menggunakan Kapal Feri untuk menyeberangi Selat Bali. Kemudian sayapun melanjutkan perjalanan menggunakan Bus dari Gilimanuk hingga Denpasar. Melelahkan... namun mengasyikkan!

Sesampainya di Denpasar, sayapun langsung mengunjungi dua orang teman saya yang sudah tiba lebih dulu beberapa hari di Bali. Tanpa membuang waktu setelah bertemu Dessy, salah satu teman saya, sayapun langsung menuju Kuta mengunjungi rumah Barbara dan Simon, salah seorang sahabat untuk... Mandi!!! Hehehe... saya merasa tidak nyaman dengan kulit lengket setelah menempuh perjalanan panjang tersebut.

Setelah mandi dan rileks sejenak, saya dan Dessy membuat rencana aktivitas selama di Bali. Berbeda dengan teman-teman saya lainnya yang lebih mencari hiburan "dugem" di Kuta dan sekitarnya dalam menghabiskan akhir tahun, kami lebih ingin menikmati Bali dari sisi yang lebih natural. Karenanya kami memutuskan untuk meninggalkan Kuta dan sekitarnya yang selalu ramai dan memilih tempat-tempat indah yang relatif lebih tenang. Kami juga tidak memutuskan memilih satu tempat/penginapan sebagai base kami, kami lebih memilih baru mencari penginapan apabila kemalaman sampai di satu daerah. Dengan modal mobil yang kami sewa dari Yudi, kami mulai perjalanan untuk keliling Bali.

Sambil menunggu Gobind untuk bergabung, kami berdua mampir sejenak ke kantor Iin di daerah Kuta Square sambil mencari makan. Saya baru sadar, sejak pagi sampai di Gilimanuk hingga hampir sore di Kuta, saya belum makan sama sekali. Tak lama kemudian Gobind pun menghubungi kami untuk menemuinya di salah satu food court di Denpasar. Malam itu kami, saya, Gobind, Dessy, dan Barbara makan malam di food court tersebut. Berhubung Barbara tidak bisa menemani kami lebih lama, kamipun akhirnya berpisah. Formasi kami sudah lengkap seperti yang sudah kami rencanakan sejak dari Jakarta. Saya, Gobind, dan Dessy.

Malam ini kami memutuskan menuju Jimbaran dan bermalam di sana. Setelah kesulitan mencari penginapan, kami akhirnya menemukan sebuah penginapan dengan model bungalow tidak jauh dari kompleks Universitas Udayana Denpasar. Penginapan tersebut berada di atas tebing dengan pemandangan ke laut lepas, sungguh indah! Malam itu, kami tertidur dengan nikmatnya di Jimbaran.

Kami bangun pagi sekali dan bersantai-santai di taman pinggiran kolam renang depan kamar kami. Menikmati pagi yang sejuk, indah, dan tenang sambil sarapan pagi. Setelah mandi, kami bersiap untuk check out dan melanjutkan perjalanan. Tujuan perjalanan berikutnya adalah Nusa Dua. Kami akan mengunjungi rumah Yopie dan Yudi. Tidak lama kami berada di sana, kami segera ke daerah Tuban-Kuta untuk mencari makan siang. Selesai makan siang, kami bergerak menuju Pantai Dream Land di daerah Pecatu. Saya menghabiskan siang hingga sore hari di pantai yang indah tersebut untuk belajar dan bermain Surfing. Pengalaman pertama bermain surfing yang sungguh asyik.

Menjelang senja, kami meninggalkan Pantai Dream Land dan menuju rumah Yopie dan Yudi kembali. Malam ini kami akan bermalam di Nusa Dua.

Pagi hari setelah bangun dari tidur yang lelap, tanpa diberi kesempatan untuk mandi, kami diajak Yopie untuk mengunjungi tempat bekerjanya tidak jauh dari tempat kami menginap. Dia ingin menunjukkan sebuah tebing dimana dia sering melakukan Paragliding dengan tamu-tamunya. Tebing ini tersembunyi dan tempatnya agak pribadi. Kami bisa memandang samudera dengan bebas dari ketinggian. Indah sekali!

Tidak lama kami berada di sana, dan kembali ke rumah untuk bersih-bersih. Setelah bersih-bersih, kamipun kembali bergerak menuju Ubud. Ubud terkenal sebagai daerah seni di Bali. Kami sempatkan diri jalan-jalan di Ubud pada siang hari itu. Kami mengunjungi Pasar Ubud untuk mencari beberapa cenderamata. Menjelang sore kami meneruskan perjalanan ke Kintamani. Kami makan siang di waktu Maghrib di puncak tebing Kintamani sambil menikmati keindahan Danau Batur di bawahnya. Beruntung kami membawa Binocular untuk mengamati Danau tersebut ketika matahari terbenam. Danau yang indah karena diapit oleh dua buah gunung -Gunung Batur dan Gunung Agung- yang kokoh.

Selesai makan siang yang kami gabung dengan makan malam kami bergerak turun ke Toyabunka, sebuah desa di pinggir Danau Batur. Malam ini adalah malam terakhir di tahun 2004, kami menghabiskan waktu dengan menikmatinya di sebuah warung kopi setelah sebelumnya meletakkan barang-barang kami di penginapan yang kami sewa. Kami memutuskan untuk tidur lebih cepat malam ini, karena kami mempunyai rencana besar hari esok. Kami tidak melewatkan malam pergantian tahun dengan melakukan keriaan, seperti meniupkan terompet yang suaranya kami dengar dari kejauhan saat kami tidur.

Kami terjaga pada dinihari pukul 3 di hari pertama 2005. Setelah cuci muka sejenak, kami mengambil perlengkapan yang sudah kami siapkan untuk menjalankan rencana kami sebelumnya. Kami akan mendaki Gunung Batur dan berharap dapat menikmati keindahan matahari terbit di puncaknya. Perjalanan menuju puncak akan memakan waktu sekitar 2-3 jam. Jika kami tidak ingin ketinggalan momen matahari terbit, maka kami harus secepatnya berangkat memulai pendakian. Jam 03.30 kami telah tiba di pintu masuk Gunung Batur dan segera melakukan pendakian. Dengan modal 2 senter dan mengira-ngira arah, kami berjalan dan merayapi punggungan Gunung Batur.

Jarum jam belum menunjukkan angka 6 ketika pagi itu kami sampai di puncak Gunung Batur. Baru kami bertiga pagi itu yang sudah ada di puncak. Angin sangat keras, kabut pun masih sangat pekat ketika kami sampai. Saya sempatkan untuk Sholat Subuh di sana. Menakjubkan, dan mengagumkan. Berbagai perasaan membuncah di dada saya saat saya menundukkan diri pada Sang Pencipta di suatu tempat yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Selesai saya Sholat Subuh, kami bertiga melakukan Capacitar untuk menghangatkan badan dan melancarkan peredaran darah di tubuh kami. Saat kami sedang melakukan Capacitar, matahari menyapa kami dengan senyumnya yang malu-malu karena ditutupi kabut yang tebal. Matahari terbit di hari pertama tahun 2005! Alangkah indahnya...! Tidak henti-hentinya saya bersyukur diberi kesempatan menikmati karunia ini.

Tidak lama setelahnya mulailah berdatangan beberapa pendaki lainnya yang kesemuanya adalah turis mancanegara. Ada 6 orang yang sampai dalam rombongan tersebut. Kami semua akhirnya menikmati minuman hangat bersama pagi-pagi di puncak Gunung Batur.

Kenikmatan ini tidak bisa lebih lama lagi kami rasakan karena sejam kemudian kami harus kembali untuk melanjutkan perjalanan kami berikutnya. Perjalanan menuruni Gunung Batur tidaklah sesulit seperti kami mendakinya. Selain hari sudah terang, ternyata sudah ada jalur perjalanan yang bisa kami ikuti. Kami baru menyadari bahwa jalur kami mendaki tadi adalah jalur yang tidak lazim sehingga kami harus merayap-rayap seperti cicak pada punggungan gunung dengan kemiringan 60 derajat! Wow hebat!!! Walaupun kami tidak yakin ingin melakukannya kembali melalui jalur tersebut seandainya ada kesempatan lain.

Menjelang jam 10 kami tiba kembali di penginapan dan melanjutkan kembali tidur kami yang tadi terpotong hehehe... Saat Gobind dan Dessy tertidur, saya menggunakan waktu yang ada untuk mandi dan bermain ke hotel yang ada di sebelah penginapan kami. Saya mendatangi kamar Nike, teman saya yang datang dari Jakarta dan secara tidak sengaja berada di tempat ini secara bersamaan. Sebuah kebetulan yang menyenangkan!

Tidak berlama-lama saya menghabiskan waktu dengan Nike, karena tidak lama kemudian Gobind dan Dessy terbangun. Kami bertigapun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Tabanan. Kami akan mengunjungi sebuah desa dimana Gobind pernah cukup lama tinggal dan sudah dianggap sebagai bagian keluarga di sana. Kami sempat mampir kembali di daerah Ubud untuk melakukan makan siang sebelum kami sampai ke desa tersebut pada sore menjelang malam hari. Sebelumnya kami menuju Pantai Soka - Tabanan dahulu untuk menikmati matahari terbenam di sore pertama tahun 2005. Pengalaman yang sangat sulit untuk dilupakan!

Kami sempat bercengkerama malam hari di rumah salah seorang "Pamannya" Gobind yang begitu bagus. Sebuah rumah kecil dengan halaman yang sangat luas dan tertata rapih. Kami yakin seandainya siang hari taman itu akan terlihat sangat apik, karena malam hari pun taman itu terlihat indah dengan beberapa pelita kecil di sudut-sudutnya. Setelah cukup bertemu dengan "Paman", kami pun meminta diri untuk menuju tempat bermalam kami selanjutnya.

Malam ini kami akan bermalam di sebuah kompleks Bungalow dan Spa milik Pak Dewa yang berada di daerah Tabanan juga. Kami membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di tempat Pak Dewa dari rumah "Pamannya" Gobind. Saat kami sampai, ternyata Pak Dewa sudah menunggu kami, karena kami berjanji dengan beliau untuk datang sejak kami masih berada di Toyabunka. Sambutan ramah kami dapatkan dari beliau. Beliau mempersilahkan kami untuk membersihkan badan dan beristirahat sejenak sebelum memenuhi undangan beliau untuk ke tempat tinggalnya yang berada di seberang kompleks Bungalow.

Pak Dewa adalah seorang Sound Healer. Malam ini rencananya kami akan di healing oleh beliau dengan menggunakan instrumen-instrumen suara yang beliau miliki. Mulai dari tabung kristal, trumpet suku Indian, bel kecil, sampai nyanyian energi sudah beliau siapkan dalam sebuah ruangan yang apik. Healing ini tidak beliau berikan pada semua tamu hotelnya, hanya khusus untuk kenalan dan kerabat dekat saja. Kami beruntung bahwa kami diberikan kesempatan merasakan walau baru pertama kali bertemu.

Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam proses healing tersebut. Setelah kami berbaring di hadapan beliau dan mulai menghasilkan bunyi-bunyian dari instrumen tersebut, saya mulai merasa melayang dan damai. Tenang, rileks, damai, semua berkumpul jadi satu hingga sampai satu waktu saya disadarkan oleh "beliau" untuk mendarat kembali. Menurut beliau, kami semua tertidur tetapi kami tidak merasa tidur. Saya merasa damai setelah menjalani healing tersebut. Kamipun sempat berdiskusi tentang sound healing hingga sampai waktu kami harus meminta diri untuk beristirahat.

Jam 6 pagi setelah kami bangun, kami kembali ke rumah Pak Dewa untuk melakukan Capacitar. Kali ini Gobind gantian memberikan healing pada Pak Dewa dan kami. Kami berempatpun sibuk berdiskusi setelah kegiatan Capacitar tersebut selesai. Gantian Pak Dewa yang bertanya pada Gobind tentang Capacitar. Terlihat Gobind dan Pak Dewa seperti tukar-menukar ilmu.

Selesai bersih-bersih, kami ditunggu Pak Dewa untuk sarapan di restoran beliau yang bernuansa kayu. Alami! Sambil mengobrol, kami menikmati embun yang masih ada walau hari sudah hampir jam 8 dan memandang Gunung Watukaru di kejauhan. Pak Dewa mengajak kami untuk mengunjungi kebun jatinya yang tidak jauh dari penginapan. 10 menit perjalanan kami tempuh menggunakan mobil Pak Dewa.

Kebun jati tersebut terletak pada sebuah tempat dimana tebing berada pada satu sisinya dan jurang/lembah berada sisi lainnya. Kami bisa melihat gunung dari sisi jurang, dan garis pantai Pulau Bali dari sisi tebing. Kebun jati tersebut cukup luas dan dipenuhi oleh pohon-pohon jati muda. Tidak lama kami berada di sana, kami diajak mengunjungi pantai lain yang ada di Tabanan. Pantai ini begitu unik, karena untuk mencapai tepinya, kita harus turun dan melalui sebuah gua karang sepanjang 200 meter dahulu. Tidak banyak yang tahu lokasi ini, hanya penduduk sekitar saja. Ini adalah keberuntungan kami berikutnya.

Kembali ke penginapan, kamipun bersiap-siap untuk kembali berangkat. Setelah mengucapkan terimakasih dan salam pada Pak Dewa, kami segera kembali menuju Denpasar. Hari ini saya harus kembali melakukan perjalanan pulang seperti saya datang. Pesawat yang akan membawa saya kembali ke Jakarta akan lepas landas besok dari Bandara Juanda, sehingga semalam-malamnya saya sudah harus meninggalkan Bali agar bisa tiba di Surabaya keesokan harinya.

Sebelum Gobind dan Dessy menurunkan saya di terminal Ubung, kami masih sempat mengunjungi Made Sepel seorang teman kami di daerah Belimbing - Tabanan. Sebenarnya jika waktu saya tidak terbatas, kami akan meneruskan perjalanan menuju Pantai Lovina yang searah dengan Belimbing. Di Pantai Lovina kita bisa bermain di laut bersama dengan lumba-lumba. Sayang saya tidak bisa lebih lama... Gobind dan Dessy harus mendrop saya dahulu sebelum meneruskan perjalanan ke Pantai Lovina tanpa saya.

Sore hari saya melintasi kembali daerah Kuta sebelum menuju terminal Ubung Denpasar. Lembayung Bali menyapa saya ketika kami berjalan di sepanjang tepian pantai mengendarai mobil. Saya mendadak menjadi sentimentil dan merasa sedih meninggalkan Pulau ini dan kenangan-kenangan yang sudah saya dapat. Sungguh beruntung saya dapat menikmati itu semua.

Jam 7 malam, bis yang akan membawa saya ke Surabaya bergerak meninggalkan terminal Ubung. Selamat tinggal Denpasar, selamat tinggal Bali... Pulaumu begitu indah... Terimakasih telah menjamu saya dengan keramahan dan kehangatanmu!

Tuesday, November 15, 2005

Terimakasih

Kalau ada sebab air mata ini harus jatuh lagi, itu karena membaca tulisan sahabat-sahabat baik dalam menyebarkan virus sehat di kehidupan nyata. Sebuah usaha membangun kepedulian dan empati bagi mereka yang kalah, tersisih, dan terlupakan. Entah mengapa tulisan-tulisan itu selalu membuat hati ini bergetar.

Sudah cukup lama saya tidak bergandengan tangan dengan mereka untuk menjalani kegiatan bersama. Walau begitu hati saya dan dukungan saya akan selalu ada buat mereka. Setidaknya mereka telah membuat sedikit mimpi saya menjadi nyata.

Saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanya orang yang begitu mudah terharu apabila melihat orang-orang yang kalah, tersisih, dan terlupakan di jalan, jembatan penyeberangan, atau tempat lain yang sering saya lewati. Saya sering bermimpi dan berpikir bagaimana caranya saya bisa membawa mereka semua menikmati apa yang juga bisa saya nikmati walau hanya sekali.

Entah apa yang sebenarnya saya harapkan dari sana? Saya juga tidak tahu... Tetapi saya selalu merasakan adanya kenyamanan di hati saya apabila saya sudah melakukannya. Saya selalu merasakan kesejukan melihat mata dan senyuman mereka yang begitu tulus. Ketulusan yang sudah sangat susah saya temukan. Ada hangat yang menjalar ke seluruh tubuh saya yang mampu membuat air mata saya meleleh. Ada kedamaian. Ada syukur. Ada kebahagiaan, dan ada cinta yang mengalir.

Banyak sekali yang bisa saya dapatkan dari mereka, yang sebenarnya tidak sebanding dengan nilai yang saya berikan pada mereka. Begitu mudah menemukan kebahagiaan apabila saya mau merendahkan hati pada mereka. Karenanya saya sudah cukup bahagia apabila ternyata sudah banyak sahabat saya yang juga melakukan hal yang sama. Bukan karena saya merasa berhasil melakukan apa yang dulu sudah saya mulai, tetapi karena akan banyak sekali pelajaran kerendahan hati yang akan saya dapatkan dari sahabat-sahabat terhebat. Akan banyak mata yang akan bersinar, akan banyak bibir yang tersenyum, akan banyak hati yang tersentuh, dan akan banyak kedamaian yang melingkupi.

Karenanya, saya tidak pernah ingin berhenti mencurahkan air mata apabila semua itu menjadi nyata. Saya ingin membiarkan air mata saya menjadi telaga sebagai wujud rasa syukur saya pada Sang Pencipta.

Terima kasih. Entah pada siapa saja ucapan ini harus saya tujukan... Pada Allah atas semua karunia dan nikmatnya... Pada sahabat-sahabat baik yang telah mendedikasikan banyak hal, pada saudaraku yang kurang beruntung yang telah mengajariku makna bersyukur. Semoga Allah SWT akan selalu memberikan tambahan kebaikan atas semua langkah yang telah kalian lakukan. Amin...

Thursday, October 27, 2005

Belajar Ikhlas

Ramadhan sudah memasuki hari yang ke 24, yang berarti tinggal 5 hari lagi Ramadhan tahun ini akan berakhir. Idul Fitri berarti sudah di ambang pintu.

Berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, Ramadhan tahun ini banyak memberikan suasana yang lain. Tidak terasa waktu berjalan cepat... bahkan untuk menentukan Ramadhan ini sudah hari ke berapa, saya masih harus menghitung dulu.

Seorang staf di kantor selalu menghitung Ramadhan dengan kalimat "tinggal ... hari", tetapi saya selalu menghitungnya dengan "sudah ... hari". Dua kalimat yang bisa bertujuan sama, tetapi dengan makna yang sangat jauh berbeda menurut saya.

Saya bukanlah seorang yang taat ataupun religius. Tapi saya sedang berusaha dan belajar untuk taat walau seringnya kalah dengan malas yang menghadang. Entah mengapa mendekati akhir Ramadhan ini hati saya mendadak sedih... Bukan karena euforia untuk mencari penghiburan dan pembuktian bahwa puasa Ramadhan saya berhasil. Saya berpikir tidak ada yang perlu dibuktikan di sini, karena urusan ini adalah urusan saya dengan Pencipta saya.

Saya sedih, karena atmosfir Ramadhan akan segera berakhir. Atmosfir yang damai... walaupun saya jarang sholat tarawih. Bulan ini seperti memotivasi saya untuk kembali bertanya "Siapa diri saya?", "Apakah yang saya jalani selama ini sudah sesuai dengan tracknya?", dan masih banyak pertanyaan yang lain.

Kemarin saat berbuka dengan seorang teman, kami diasyikkan dengan suatu perbincangan mengenai pencarian identitas tersebut. Intinya ternyata untuk urusan apapun, saya jangan terlalu memaksakan diri. Terlebih untuk masalah keyakinan. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan nikmat. Biarlah semua berjalan sesuai alirannya, tetapi lakukanlah dengan kemampuan terbaik. Jangan langsung mempunyai ekspektasi yang tinggi, lakukanlah setahap demi setahap. Klise...

Tapi ternyata pelaksanaanya tidak semudah dibayangkan. Sampai sekarang jika dianalogkan sebagai sekolah, saya baru menginjak bangku SD. Hal tersulit adalah bagaimana menyusun "mind set" yang ada di kepala dan di hati. Setting tersebut adalah bagaimana mengatur pikiran dan hati menjadi orang yang ikhlas. IKHLAS kata kunci yang pernah dikatakan salah seorang "guru kehidupan" saya beberapa tahun lalu untuk dipegang selama hidup saya. Kalimat abstrak yang bila direalitaskan menjadi sangat sulit.

Sebuah novel filsafat yang banyak menginspirasi saya mengatakan bahwa " apa yang terjadi dalam kehidupan kita, memang sudah seharusnya terjadi" dan dalam kacamata agama ini disebut sebagai "TAKDIR". Dan bila kita bisa menerimanya dengan hati lapang tanpa penyesalan, ini bisa diartikan pula kita "IKHLAS". Tapi apa benar sebenarnya kita bisa menerima semua takdir kita dengan hati lapang?

Karenanya sampai sekarang saya masih berusaha untuk mempelajarinya. Salah satunya adalah dengan berusaha melihat segala sesuatu dari sisi sebaliknya. Melihat sebuah rezeki dan kebahagiaan itu sebagai ujian, dan melihat sebuah musibah dan cobaaan itu sebagai nikmat. Seandainya saya bisa melihatnya dan merasakan sebenarnya dengan baik, betapa bahagianya saya... Saya dapat merasakan rezeki dan kebahagiaan itu sebagai nikmat juga ujian, begitupun sebaliknya merasakan musibah dan cobaan sebagai ujian juga sekaligus nikmat, tinggal bagaimana saya mensetnya dalam pikiran dan hati saya.

Dan seandainya saya bisa menset semuanya dalam perspektif positif, maka energi yang menjalar di tubuh saya pun menjadi positif. Seperti yang pernah saya dengar dari seorang teman yang menjadi praktisi energi, "Energi positif akan membuat diri kita menjadi nyaman, begitupun yang akan dirasakan oleh orang-orang di sekeliling kita dengan kehadiran kita". Saya akan ringan melangkah, begitupun orang-orang di sekeliling saya akan terpengaruhi oleh energi tersebut. Alangkah indahnya...